Pergelaran Wayang Golek Menak Kebumen
Wayang Golek Menak Kebumen adalah salah
satu jenis wayang golek yang sumber ceritanya bersumber pada Hikayat
Hamzah, Regester Menak baik yang berbentuk sekar maupun gancaran yang
terdiri dari 24 episode. Cerita-cerita tersebut berkembang turun-temurun
secara tradisi lisan. Cerita menak yang terdapat di Kebumen juga
berkembang karena kreativitas dalang yang melakukan inovasi cerita
dengan menambah lakon-lakon carangan sesuai dengan kemampuan dalang
masing-masing, dengan demikian dimungkinkan ada perbedaan lakon dari
dalang yang satu dengan dalang yang lain.
Wayang golek Menak Kebumen berbentuk tiga
demensi. Bahan utama pembuatan kepala, badan, dan tangan dari kayu
jaranan, weru, atau sengon laut. Busana bagian atas menggunakan kain
beludru yang dihias manik-manik payet, dan benang emas, sedangkan busana
bawah biasanya menggunakan kain bermotif batik. Sampur menggunakan kain
jenis sifon, bisa juga menggunakan kain santung. Gapit atau tangkai
wayang sebagai pegangan, sekaligus poros penggerak kepala tersebut dari
bambu, kayu pinang, dan sejenisnya. Demikian juga tuding yang digunakan
sebagai alat untuk menggerakkan tangan. Pewarnaan wayang menggunakan
bahan baku dari cat tembok yang dicampur dengan lem kayu dan inti warna
(pigmen).
Iringan wayang golek Kebumen menggunakan
perangkat gamelan ageng slendro dan pelog yang terbagi menjadi 3 (tiga)
pathet yaitu pathet nem, sanga, dan manyura. Gendhing-gendhing, dan
sulukan wayang golek Kebumen mempunyai ciri garap khusus yang tidak sama
dengan iringan wayang kulit terutama pada bentuk srepeg yang
masing-masing berperan sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai contoh untuk
mengiringi adegan perang tiap-tiap pathet mempunyai iringan
masing-masing, demikian juga untuk mengiringi adegan perang putri.
Gendhing yang digunakan untuk mengiringi adegan sama dengan iringan
wayang kulit.
Pertunjukan wayang Golek Kebumen
dipergelarkan sesuai dengan kebutuhan penanggap, dapat dilaksanakan satu
hari satu malam, satu malam saja, dan 2 (dua) sampai 4 (empat) jam.
Tetapi yang masih berlaku sampai saat ini dilaksanakan satu hari satu
malam yaitu siang pukul 11.00 - 17. 00, dilanjutkan pada malam harinya
pk 20.00 - 05.00
Wayang golek Kebumen dipertunjukkan untuk
upacara perhelatan seperti khitanan, pernikahan, kelahiran dan
sebagainya, juga dipertunjukkan dalam rangka upacara tradisi desa bersih
dusun, dan acara-acara pemerintah.
Cerita Wayang Golek Kebumen
Cerita Menak di Jawa paling awal
diperkirakan berasal dari zaman pemerintahan Sultan Agung Mataram (1613 -
1645), dari sumber Melayu diperkirakan bahwa penulisan Menak terjadi
pada abad XV dan XVI. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata Menak
Jingga dalam Serat Damarwulan, dalam sastra jawa pertengahan, yaitu
sastra kidung, telah terdapat kata menak yang berarti berbudi luhur,
mulia, tampan dsb. Hal ini dapat diperkirakan bahwa penulisan dari
sumber Melayu kemungkinan dibuat pada abad XV atau XVI.
Cerita menak tersebut luas dikenal
melalui saduran R.Ng Yasadipura I, Ia mendasarkan karyanya pada versi
Kartasura tulisan Ki Carik Narawitan. Tulisan-tulisan yang dianggapnya
masih sederhana kemudian dikembangkan oleh R. Ng Yasadipura I dengan
perluasan-perluasan, dan penambahan-penambahan, kendati demikian garis
besar cerita masih sangat dekat dengan sumber cerita Melayu.
Balai Pustaka mencetak cerita Menak dalam
tulisan Jawa berdasarkan naskah versi macapat antara th 1933 s/d 1941 M
dari teks Yasadipura I dalam 24 bagian (46 jilid) Bagian-bagian
tersebut masing-masing diberi nama berdasarkan tokoh utama atau tempat
yang paling penting, yaitu:
1. Menak Sareh. 13. Menak Kandhabumi
2. Menak Lare 14. Menak Kuwari
3. Menak Srandhil 15. Menak Cina
4. Menak Sulub 16. Menak Malebari
5. Menak Ngajrak 17. Menak Purwakanda
6. Menak Demis 18. Menak Kustub
7. Menak Kaos 19. Menak Kalakodrat
8. Menak Kuristam 20. Menak Sorangan
9. Menak Biraji 21. Menak Jamintoran
10 Menak Kanin 22. Menak Jaminambar
11 Menak Gandrung 22. Menak Talsamat
12 Menak Kanjun 23. Menak Lahat
Dari cerita-cerita tersebut diatas oleh
dalang wayang golek Kebumen diolah menjadi lakon wayang golek menurut
kemampuan masing-msing dalang membuat struktur adegan dan membuat
sanggitnya. Untuk itu tidak jarang terjadi dalam satu judul lakon yang
sama dengan dalang yang berbeda akan berbeda pula garap adegan ataupun
sanggitnya.
Sindu Jataryana seorang dalang dari Mirit
yang pernah mendapat tempat di hati masyarkat pendukung wayang golek di
Kebumen dan sekitarnya pernah menggelar lakon yang tidak terdapat dalam
bagian-bagian lakon menak seperti;
1. Ngembajati 10. Rasakusuma Takon Bapa
2. Dewi Nawangwulan 11. Kendhit Brayu
3. Dewi Mandhaguna-Mandhagini 12. Ganggakesuma Takon Bapa
4. Mandarpaes 13. Dewi Sri
5. Jayengrana Wayuh 14. Umarmaya Kembar
6. Gendreh Kemasan 15. Menak Sathit
7. Bambang Sekethi Lahir 16. Jayengrana Kembar
8. Ganggamina-Ganggapati 17. Iman Suwangsa Kembar
9. Imanjaka Takon Bapa 18. Kadarwati Ranjam
19 Pernah menyusun lakon yang bersarkan atas peristiwa orang bunuh diri dengan kereta api.
Lakon ini diminta khusus oleh penanggapnya.
Daerah Jawa mengenal adanya lakon-lakon
yang tabu untuk dipergelarkan, karena beranggapan apabila mempergelarkan
lakon tersebut akan mendapatkan petaka. Demikian halnya dengan
pergelaran wayang golek menak di Kebumen ada beberapa lakon menak yang
ditabukan seperti;
a. Umarmaya Ngemis
b. Menak Jaminambar
c. Menak laka
d. Bestak Bencek dan lain-lain
Sindu Jataryana adalah seorang dalang
yang mengalami masa kejayaan di tahun 50 sampai dengan awal 80-an.
Banyak peristiwa yang mendukungnya diantaranya:
a. Dalam rangka festival wayang Golek di Pekalongan tahun 1976.
b. Dalam rangka studi banding dengan wayang golek cepak dengan dalang Ki Ali Wijaya di Sragi tahun 1977.
c. Dalam rangka studi banding wayang menak di Jakarta tahun 1978.
d. Mendapat anugrah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Nugraha Notosusanto).
Pergelaran Wayang Golek Menak di Kebumen
Pertunjukan wayang golek menak di Kebumen
dilaksanakan pada siang dan malam yang memerlukan rentang waktu 6
sampai 8 jam. Siang hari dipergelarkan dari pukul 11.00 hingga 17.00,
sedangkan pada malam hari pada pukul 21.00 hingga 05.00 yang
masing-masing terbagi menjadi 3 (tiga) bagian pathet yaitu pathet nem,
pathet sanga, dan Manyura. Sebelum pergelaran dimulai biasanya didahului
dengan konser gendhing.
Iringan yang mendukung jalannya
pertunjukan dengan menggunakan perangkat gamelan ageng slendro, dan
pelog, tetapi gendhing-gendhing dan sulukan iringan wayang golek menak
Kebumen mempunyai lagu khusus tidak seperti iringan wayang kulit gaya
Yogyakarta atau Surakarta. Terutama pada lagu sulukan dan srepeg yang
digunakan sebagai iringan baku wayang golek Kebumen. Masing-masing
srepeg mempunyai lagu, dan kegunaan yang berbeda sesuai dengan Kebutuhan
masing-masing adegan sebagai contoh; Srepeg Kembang jeruk nem digunakan
sebagai Srepeg baku pada bagian pathet nem, Srepeg Kembang Jeruk Prang
khusus digunakan pada adegan perang pada bagian pathet nem, Srepeg
Kawosempal digunakan khusus untuk mengiringi adegan suasana sedih, untuk
adegan perang pada bagian pathet sanga diiringi dengan Srepeg Rujak
Beling pathet sanga, Srepeg semarangan digunakan untuk srambahan
perjalanan tokoh gagah dan tokoh halus yang masing-masing mempunyai lagu
sendiri-sendiri. Srepek Rujak beling pathet manyura digunakan khusus
sebagai iringan perang pada bagian pathet manyura, Srepeg Bribil Buntung
digunakan apabila ada tokoh putri yang berperang, Srepek Adhuh-adhuh
sebagai iringan baku pada bagian pathet manyura, dan Godril Ladrang
digunakan sebagai iringan perang tokoh gecul.
struktur adegan pada pergelaran wayang
golek Kebumen menyesuaikan dengan lakon yang dipergelarkan. Tetapi pada
awal pergelaran dapat dipisahkan selalu diawali dengan Jejer I, dengan
diiringi Bondhet, gendhing kethuk kalih kerep, sebagai iringan tampilnya
tokoh-tokoh yang menghadap raja, dan janturan adegan, sebagai iringan
tampilnya tokoh-tokoh yang menghadap raja, dan Janturan adegan,
dilanjutkan dengan Monggang Sekaten cengkok Kebumen untuk mengiringi
tampilnya tokoh raja.
Tampilnya tokoh raja gagah dengan tarian kiprah biasa diiringi dengan Bendrong , lancaran.
Pergelaran wayang golek menak Kebumen
tidak terdapat struktur adegan gara-gara seperti halnya wayang kulit,
tetapi juga mengenal tokoh punakawan baku bernama Jiweng sebagai
pamomong tokoh-tokoh protagonis seperti Iman Suwangsa, Umarmaya,
Jayengrana, Jayusman dan lain sebagainya.
Perkembangan Pergelaran
Perjalanan waktu akan mendorong adanya
perubahan terhadap sesuatu, demikian juga yang dilakukan oleh beberapa
dalang wayang golek di Kebumen, seniman dalang tersebut mencoba
mengadakan perubahan-perubahan dalam usaha mempopulerkan kembali
pergelaran wayang golek menak Kebumen. Seniman dalang berharap akan
wayang golek dapat menjadi pertunjukan yang elastis, dapat berdialog
dengan masyarakat, mampu menampung aspirasi penggemarnya.
Tetapi usaha-usaha yang dilakukan masih
sangat terbatas pada kulitnya saja belum dapat menyentuh pada esensi
wayang golek menak itu sendiri. Sebagai contoh dengan di tambahkan
adegan Limbukan yang mengalunkan lagu-lagu dangdut, dan campur sari,
demikian juga pada bagian pathet sanga ditampilkan Jemblung Marmadi, dan
Jiweng sebagai pengganti adegan gara-gara.
Minat Penonton
Masyarakat pendukung wayang golek Kebumen
pada saat ini tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang cerita
Menak. Lain halnya apabila dibandingkan dengan masyarakat pendukung
wayang kulit, cerita Mahabarata dan Ramayana. Ujud dari tokoh wayang
menak khususnya wayang golek tidak akrap dengan penonton, di samping itu
wayang golek tidak dapat dilihat dari jarak jauh secara jelas. Lain
halnya dengan wayang kulit yang dapat dilihat dari jarak 40 sampai 50
meter, sedangkan wayang golek dari jarak 15 meter saja sudah agak kabur
kejelasan wajahnya.
Pada saat ini tugas dalang wayang golek
tidak hanya menampilkan dramatisasi cerita saja, tetapi harus
mengenalkan cerita menak, karakternya tokoh dan ujud dari tokoh yang
ditampilkan. Lain halnya dengan masyarakat yang menonton wayang kulit.
Sebagai contoh; dalang menampilkan tokoh Bima, masyarakat sudah tahu
bagaimana karakter Bima, bagaimana Jalannya Bima, siapa saja anaknya
Bima dan lain sebagainya.
Minat masyarakat untuk menonton wayang
golek pada saat ini tidak seperti pada tahun 60 sampai dengan awal
80-an, karena tinggal generasi tua yang pernah ikut menyaksikan masa
kejayaan wayang golek menak tempo dulu. Dimasa kejayaan dalang Dindu
Jataryana dan dalang seangkatannya yang mampu mengangkat pertunjukan
wayang golek Menak menjadi tontonan masyarakat yang membanggakan.
Masyarakat mempunyai harga diri yang lebih apabila mempunyai hajad
dengan menanggap wayang golek
Kendala Pertunjukan Wayang Golek Menak Kebumen
Cerita-cerita menak yang beredar di
daerah Kebumen dan sekitarnya, setelah almarhum Sindu Jataryana surut
sudah tidak akrab lagi dengan masyarakat generasi pendukung pergelaran
wayang golek menak di Kebumen, sehingga masyarakat yang menonton wayang
golek harus belajar tentang cerita menak, belajar mengenal tokoh-tokoh
wayang golek menak, belajar mengenal karakternya dan sebagainya.
Sedangkan masyarakat penonton wayang golek tidak semuanya ingin
mengetahui jalannya cerita, tetapi ada yang ingin bermain, melihat
suasana, cari hiburan untuk melepas kepenatan hidupnya dan sebagainya.
Seorang dalang wayang golek menak
diharapkan untuk dapat menari, bercerita, menguasai gendhing, dan gerak
bela diri seperti pencak silat dan sejenisnya. Dalang yang akan
mempunyai kemampuan 4 hal seperti yang disebutkan sebelumnya akan
mengurangi bobot seorang dalang wayang golek. Sedangkan untuk menguasai
hal tersebut tidaklah mudah, akibatnya banyak generasi dalang wayang
golek yang menekuni wayang kulit, apabila tanggapan pergelaran wayang
golek pada saat ini sangat jarang.
Sebagai masyarakat di wilayah tertentu
saat ini masih ada yang beranggapan bahwa mengadakan pertunjukan wayang
golek itu tabu, bahkan akan mendatangkan malapetaka bagi wilayah
tersebut atau penanggapnya, sehingga pada saat ini ada wilayah yang
masyarakatnya belum pernah melihat secara langsung pertunjukan wayang
golek.
Preman-preman daerah yang memalak orang
yang mempunyai hajad juga menjadi kendala bagi anggota masyarakat yang
akan mengadakan pertunjukan/penanggap. Hal tersebut membebani anggota
masyarakat, karena apabila anggota masyarakat akan mengadakan
pertunjukan paling tidak harus mendatangkan aparat kepolisian
setidak-tidaknya satu kijang, pada hal untuk mendatangkan aparat juga
mengeluarkan dana. Apabila tidak mendatangkan aparat kepolisian
kemungkinan besar pertunjukan wayang golek dimana dipergelarkan menjadi
ajang joged dan mabuk-mabukan semalam suntuk. Peristiwa ini beberapa
kali terjadi, pengrawit bubar meninggalkan intrumen gamelan yang ditabuh
karena ada penonton yang naik panggung dengan membawa senjata tajam
diacungkan. Betapa mengerikan.
0 komentar: